Pendidikan bergaya bank yang dikritik oleh Freire adalah konsep pendidikan yang sudah sering saya temui sejak berada di sekolah dasar sampai di bangku perkuliahan. Saat masih SD, seorang guru IPS saya sangat suka menyuruh kami untuk menyalin semua isi buku paket IPS dibandingkan mengajarkannya. Kami dianggap berhasil bila mampu mencatat dengan baik seluruh isi teks di dalam buku. Kemudian, ketika saya SMP, saya juga mempunyai seorang guru yang gemar memukul sebagai bentuk hukuman bila tidak mengerjakan tugas dengan baik. Begitu juga di SMA, beberapa guru lebih suka bercerita selama pelajaran dibandingkan mengajar. Hingga di bangku perkuliahan, saya pun masih menemukan pendidikan bergaya bank ini. Beberapa dosen belum memerdekakan kami untuk berpendapat.
Tentu tidak semua guru dan dosen yang saya temui menerapkan pendidikan bergaya bank ini. Banyak dari mereka yang sudah memberikan kami kebebasan dalam belajar. Beberapa dari guru dan dosen tersebut juga telah menerapkan konsep dialog dibandingkan dengan konsep anti-dialog di kelas. Namun, tidak bisa dipungkiri hingga hari ini saya masih sering mendengar bahkan menjumpai pendidikan bergaya bank di sekitar saya. Sudah saatnya para pengajar sebagai the agent of change tidak lagi menerapkan sistem otoriter untuk anak didik mereka melainkan menerapkan praksis pendidikan yang memerdekakan di mana proses atau kegiatan pembelajaran yang terjadi tidak lagi mengekang dan menekan siswa dalam mencapai tujuan pembelajaran.
Tentunya, sistem pendidikan yang mampu menghasilkan manusia-manusia yang merdeka dan mandiri didukung kuat oleh para pendidiknya. Guru sebagai pendidik, pembimbing sekaligus pengajar siswa adalah orang penting dalam terwujudnya praksis pendidikan yang memerdekakan di dunia pendidikan. Sayangnya, belum semua guru mampu mewujudkan praksis pendidikan yang memerdekakan ini. Banyak siswa yang masih menganggap bila sekolah bukan tempat untuk menuntut ilmu melainkan tempat yang menuntut mereka untuk menjadi budak birokrasi pendidikan. Para siswa belum merdeka dari tumpukan tugas-tugas sekolah, guru-guru yang lebih suka mendikte, hingga guru-guru yang merasa paling tahu.
Selain itu, beberapa guru pun masih menganggap nilai sebagai patokan utama keberhasilan seorang siswa dalam belajar. Anak didik yang memiliki nilai bagus untuk semua mata pelajaran dianggap sebagai anak yang berhasil, sebaliknya siswa yang memiliki nilai yang kurang bagus dianggap tidak berhasil. Nilai yang sempurna sudah seperti teror bagi kebanyakan siswa di sekolah. Hari ini, tugas guru yang seharusnya bukan lagi sebagai penentu keberhasilan seorang siswa lewat angka melainkan penuntun keberhasilan seorang siswa lewat potensi yang dimilikinya.
Sebenarnya, status antara guru dan siswa bukan hanya sebagai pemberi dan penerima materi melainkan juga sebagai pembicara sekaligus pendengar yang baik di kelas. Tentunya peran guru sangat penting dalam menciptakan aksi dialogis ini sehingga, suasana kelas yang efekif dan kondusif dapat terwujud. Adapun guru yang menerapkan aksi antidialogis di kelas hanya akan memunculkan siswa yang pasif alias suasana pendidikan gaya bank yang dikritik oleh Freire. Siswa yang pasif cenderung dikekang dan ditekan oleh guru lewat cara mengajarnya yang bersifat otoriter di mana siswa hanyalah objek yang tidak tahu apa-apa sedangkan guru adalah subjek yang tahu segalanya.
Lalu, mengapa aksi antidialogis ini masih eksis di lingkungan pendidikan kita? Jawabannya bisa karena sistem pendidikan kita maupun dari guru itu sendiri. Tidak bisa dipungkiri sistem pendidikan yang terlalu memberikan beban kepada guru akan mempengaruhi situasi belajar dan mengajar di kelas. Sebut saja guru yang lebih sibuk memenuhi jam mengajarnya untuk kebutuhan sertifikasi dibandingkan fokus memenuhi kebutuhan siswanya.
to be continued...
kerreeeeeeeeennnnnnn.........
ReplyDeleteMakacihhhhh qaqahhh,hehe
DeleteWadidau jiwaaa..
ReplyDeleteWadidau jiwaaa..
ReplyDeleteSilahkan mampir liat2 di postingan review drakornya qaqahhh
Delete